Personal: Dari Sekumpulannya Terbuang ~
Aku tidak sedang mengkritisi siapapun, tidak pula mencoba menjadi pahlawan kesiangan, hanya saja ketika aku membaca berita ini aku ingat masa lalu. Aku melihat raut wajah mereka makan roti dengan garam. Kita tidak tahu apa yang ada difikiran mereka, seperti orang-orang dewasa zaman dulu yang tidak tahu fikiranku ketika sarapan dengan nasi putih dan kerupuk. Kasihan? aku tidak, iya mungkin aku sudah mati rasa. Marah? siapa yang punya hak untuk marah disini? Anak yang terlahir dari orang tua miskin atau anak yang menyalahkan pemerintah karena tidak mengurus orang-orang seperti dirinya?
Jawabanku tidak dua-duanya. Jika aku menjadi anak itu, ah bukan aku adalah anak itu beberapa belas tahun yang lalu. Kemiskinan, kata itu dulu memiliki rasa dan makna. Kulihat sekelilingku, temanku, keluargaku, lingkunganku.. mereka sama sepertiku. Aku benci memandangnya. Kehidupan yang ada di otakku bukanlah kehidupan yang ada dimataku. Kemudian haruskah aku marah? tidak juga. Anak sekecil itu sadar bahwa tidak ada yang bisa menolongnya kecuali dirinya. Semuanya sama, hingga dia berfikir bagaimana untuk berbeda.
Terlahir menjadi miskin itu bukanlah pilihan. Namun setelah kamu bernafas, maka hidupmu adalah tanggungjawabmu. Siapa yang kamu harapkan? semua dunia ini fana, akan pergi pada saatnya. Hanya tinggal kamu dan semua pemikiranmu. Itulah isi otak anak SD yang sekarang ini memandang haru foto pada berita itu.
Hidupmu tak akan berubah hanya karena kamu miskin dan meminta bantuan yang lain. Mencoba keluar dari lingkunganmu tidak salah selagi kamu mampu dan tidak melakukan kesalahan. Dulu aku berfikir apa yang bisa aku lakukan untuk keluar dari keadaan ini. Dengan kuasa Allah aku ditunjukkan sebuah jalan, iya dengan "pendidikan" Tuhan akan mengangkat derajat manusia yang berilmu dan beramal sholeh.
Oleh sebab itu aku bergelut dengan nasib, gambling, dan tidak mau kalah dengan keadaan. Apapun yang terjadi aku akan tetap melanjutkan sekolah walaupun harus menggembel di kota orang. Aku tidak mau hidup di lingkunganku, aku lelah. Lelah menjadi yang tidak berdaya. Aku ingin melakukan apapun yang aku mau, tak ada yang melarang dan tak ada pula yang aku khawatirkan.
Memang benar, sekarang aku berbeda. Aku membuat perbedaan dengan menjadi satu-satunya anggota keluarga yang mengenyam perguruan tinggi di luar kota. Thanks God for that. Namun perjuanganku belum selesai. Masih jauh dan panjang. Melelahkan namun aku tidak menyesal melaluinya.
Gotta back to you,
my location unknown today
but not at all 10 years latter, see you
0 komentar